PAREPARE, koridor.id – Akreditor Bidpropam Polda Sulawesi Selatan memilih bungkam terkait hasil sidang Komisi Kode Etik Polri (KKEP) terhadap Briptu AZ (25), polisi yang diduga menganiaya mertuanya, RG (59).
Sidang yang berlangsung tujuh jam di Lapas Kelas IIA Parepare pada Rabu (30/10/2024) dan menghadirkan empat orang saksi itu berakhir tanpa transparansi.
“Mohon maaf ya, maaf terima kasih,” hanya itu yang keluar dari mulut Akreditor Bidpropam Polda Sulsel Kompol Dominin sambil mengatupkan tangan saat diserbu pertanyaan wartawan usai sidang.
Tidak hanya Kompol Dominin, seluruh anggota Polda Sulsel yang hadir dalam sidang juga memilih tutup mulut terkait kasus yang dinilai mencoreng citra institusi Polri tersebut.
Sikap tertutup ini menuai kritik keras dari kuasa hukum korban. Wival Agustri, pengacara RG, mengungkapkan meski tidak mendapat informasi resmi, pihaknya mendapat kabar bahwa terduga pelanggar mengajukan banding.
“Ini mengindikasikan adanya pelanggaran berat sesuai Pasal 17 Jo 111 Perpol Nomor 7 tahun 2022 tentang kode etik profesi Polri,” jelasnya.
Wival menambahkan, pihaknya akan berkoordinasi dengan Polda Sulsel untuk mengetahui langkah-langkah selanjutnya terkait banding yang diajukan terduga pelanggar.
“Harapan klien kami, terduga pelanggar diberikan sanksi pemecatan atau pemberhentian tidak dengan hormat dari instansi kepolisian,” tegasnya.
Drama sempat terjadi sebelum sidang dimulai ketika tim kuasa hukum korban nyaris tidak diizinkan masuk ke Lapas.
“Kami sempat adu argumen dengan akreditor karena tidak diperbolehkan masuk dengan alasan ini kesepakatan antara komisi dengan kalapas,” ungkap Wival. Meski akhirnya diizinkan masuk ke Lapas setelah negosiasi, mereka tetap dilarang memasuki ruang sidang.
Eka Saputra, kuasa hukum lainnya, mengungkapkan kekecewaannya atas sikap tertutup para akreditor.
“Sekalipun kami mendapat gambaran bahwa terduga pelanggar mengajukan banding, kami ingin keterbukaan atas isi putusan yang telah disampaikan dalam sidang kode etik. Klien kami juga ingin masuk mendengarkan isi putusan tapi tidak diberikan izin,” keluhnya.
Kasus ini masih berlanjut di ranah pidana dimana Briptu AZ tengah menjalani proses hukum di Polres Pinrang dan telah memasuki tahap dua di kejaksaan.
“Kami berharap sidang kode etik ini bisa menjadi pertimbangan bagi jaksa dalam penerapan pasalnya. Kami menginginkan terduga dijerat pasal 351 ayat 2, sehingga kita bisa betul-betul mendapat tujuan dari hukum itu sendiri, baik dari sisi kepastian hukum maupun keadilannya,” terang Eka.
Eka menegaskan bahwa transparansi dalam kasus ini sangat penting untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat kepada Polri.
“Kami percaya Polda Sulsel punya integritas, namun apa yang terjadi hari ini merupakan kekecewaan bagi kami dan klien. Ke depan, kami berharap Polda Sulsel dapat lebih transparan agar kami selaku kuasa hukum korban dapat mendapatkan informasi yang valid dalam penanganan perkara ini,” pungkasnya.
Seperti diketahui, kasus ini menjadi sorotan publik karena melibatkan seorang anggota Polri yang diduga menganiaya mertuanya sendiri, yang dinilai mencoreng citra institusi kepolisian. Kasus ini juga menjadi ujian bagi transparansi dan profesionalisme Polri dalam menangani pelanggaran yang dilakukan oleh anggotanya sendiri.
Berkali-kali Lakukan Penganiayaan
Sidang ini menjadi sorotan setelah terungkap bahwa AZ telah melakukan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) secara berulang terhadap istri dan ibu mertuanya.
Berdasarkan dokumen persidangan, AZ tercatat telah terlibat dalam empat kasus KDRT yang berbeda. Tiga di antaranya telah memiliki kekuatan hukum tetap (inkrah) dari pengadilan yang berbeda:
1. Putusan Pengadilan Negeri Polewali Mandar Nomor 4/Pid.C/2023/PN Pol dengan korban Dra. Rusni P. Ganing (ibu mertua)
2. Putusan Pengadilan Negeri Pinrang Nomor 14/Pid.C/2023/PNPin dengan korban yang sama
3. Putusan Pengadilan Negeri Parepare Nomor 198/Pid.Sus/2023/PN Pre yang kemudian dikuatkan hingga tingkat kasasi Mahkamah Agung dengan korban Andi Ayu Sriwahyuni (istri)
Kasus keempat yang saat ini sedang dalam proses hukum di Polres Pinrang dengan nomor laporan LP/B/830/IX/2023/SPKT/POLDA SULSEL telah memasuki tahap P21. Kasus ini bermula dari peristiwa penganiayaan dan pengrusakan perabot rumah tangga yang terjadi pada 13 September 2023 di Desa Mangki, Kecamatan Cempa, Kabupaten Pinrang.
“Dalam kejadian terakhir, tersangka melakukan pengrusakan berupa pemecahan kaca meja kerja dan penganiayaan terhadap ibu mertuanya,” jelas Eka Saputra.
Korban diduga mengalami trauma mendalam akibat kekerasan berulang yang dialami. “Putusan kasasi Mahkamah Agung telah menjatuhkan vonis 1 tahun 6 bulan penjara, namun sepertinya ini belum memberikan efek jera”
Dalam sidang KKEP ini, pihak korban menuntut agar AZ diberhentikan secara tidak hormat (PTDH) dari kesatuan Polri. Kuasa hukum menilai bahwa sanksi-sanksi sebelumnya tidak efektif mencegah terulangnya tindak kekerasan.
“Kami meminta agar Polda Sulsel mengawal kasus ini dengan serius. Keadilan bukan hanya slogan, tapi harus benar-benar terwujud,” tegasnya.
Menurut Pasal 13 ayat (1) Peraturan Pemerintah RI Nomor 1 Tahun 2003 tentang Pemberhentian Anggota Polri serta Pasal 5 ayat (1) huruf b dan Pasal 8 huruf c angka 1 Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2022, tindakan AZ dinilai telah mencoreng citra institusi Polri.
“Masih banyak putra-putri terbaik bangsa yang layak menggantikan posisi terlapor sebagai anggota Polri. Seorang polisi seharusnya melindungi perempuan dan menjunjung tinggi hak asasi manusia, bukan malah menjadi pelaku kekerasan,” tambah kuasa hukum korban. (*)